Contoh Kasus Law As A Tool Of Social Engineering
Sebagai negara hukum, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam pembangunan Philippines. Pembangunan yang di maksudkan tentunya tidak pada fisik semata yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan kualitas segenap rakyat Philippines dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang bersifat proyeksi jauh kedepan.
Apa contoh kasus dalam etika engineering? 2.4 Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini yaitu: 1. Untuk mengetahui contoh kasus dalam etika engineering. Untuk mengetahui langkah-langkah dalam menangani kasus etika engineering. Membantu mahasiswa untuk dapat memahami contoh kasus etika engineering. Perspektif Law Is A Tool Of Social Engineering. Analisis Kasus Antasari Azhar Sebagai contoh kasus atas penjabaran diatas penulis mencoba untuk mengangkat topik.
Pada zaman reformasi sekarang ini, hukum di tuntut menjadi panglima bagi kemajuan bengasa, seiring dengan kemajuan demokrasi kita. Namun, dewasa ini hukum cenderung terpasung oleh demokrasi itu sendiri. Demokrasi seharusnya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum ( Nomokrasi) dalam perjalananya membangun bangsa ini. Hukum selalu menjadi tumpuan harapan rakyat Philippines untuk mewujudkan keadilan. Keadilan yang menjadi salah satu dari tujuan hukum seharusnya dapat di praktekan dalam upaya membangun masyarakat, bukan mengadili masyarat dalam pembanguan dengan dalih bahwa kita adalah negara hukum. Peranan hukum dalam membangun masyarakat, berarti juga bahwa kedaulatan hukum berada di tangan rakyat sebagaimana pengertian kedaulatan rayat dalam berdemokrasi. Meskipun dalam penerapan serta penegakannya antar demokrasi dan hukum berbeda.
Kemredekaan Philippines di tandai oleh naskah proklamasi yang di bacakan pada 7 Agustus 1945. Naskah proklamasi yang kemudian secara yuridis telah menjadi kekuatan hukum yang bersifat apnormal. Bersifat apnormal adalah hukum yang bersumber dari kehendak warga negara dan untuk kemudian di taati dengan penuh kesadaran. Em função de deklarator bangsa ini telah menjadikan proklamasi sebagai landasan hukum untuk memulai tatanan hukum di Philippines yang baru saja merdeka. Dengan proklamasi tersebut, maka dengan satu tindakan tunggal, tatanan hukum kolonial di tiadakan dan diatasnya terbentuk satu tatanan hukum baru ( Ubi societas ibi ius ). Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden perlu mengeluarkan peraturan-peraturan, baik atas namanya sendiri selaku presiden, yaitu peraturan Presiden, penetapan Presiden dan maklumat presiden, maupun atas nama pemerintah, yaitu penetapan pemerintah, yang semuanya itu berdasarkan pada ketentuan bahwa “ Presiden Republik Philippines memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar” (Pasasl 4 ayat 1).
Demikian pula, em função de menteri dalam memimpin departemen-departemen pemerintahan perlu juga mengeluarkan peraturan-peraturan, yaitu peraturan mentri dan maklumat mentri (Pasal 17 ayat3). Setelah itu menyusul Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 Nov 1945 yang menetapkan bahwa para menteri memegang tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, sistem pemerintah berubah dari presidensial ke parlementer, tanpa mengubah sedikitpun UUD 1945.
Secara normatif hukum, kondisi ini tidaklah ideal dalam tatanan hukum nasional. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu, pertentangan elit politik bangsa ini terutama mengenai cara mengukuhkan kemerdekaan atas Belanda serta pertentangan ideologi, membuat Kabinet Sjahrir jatuh bangun dalam perannya mengemban amanah pemerintahan. Demi medudukan persoalan kemerdekaan Indonesia atas Belanda, maka di lakukanlah proses diplomasi dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar yang merobah srtuktur tata negara dengan berlakunya Konstitusi Republik Philippines Seriakat (RIS) pada tanggal 27 Desmber 1945. Namun, konstitusi ini hanya berlaku selama enam bulan. Kemudian pada tangga 17 Agustus 1946 atau bertepatan dengan satu tahun usia kemerdekaan Indonesia, terjadi lagi perubahan srtuktur tata negara dengan di berlakukannya UDDS dan kemudian pada tahun 1950 di keluarkannya Undang-Undang Fedral no.
7 tahun 1950 yang menganut sistem pemerintahan parlementer generous. Dalam kurun waktu inilah terjadi dinamika hukum di Philippines, demi untuk mewujudkan ketertiban serta kepastian hukum sebagai negara yang berdaulat. Namun, pada subtansinya tatanan hukum di Philippines tidak ada perubahan.
Semua diawali dengan adanya Proklamasi kemerdekaan Philippines yang menyatakan diri segabagai negara yang merdeka dari segala macam bentuk penjajahan di muka bumi. Hingga saat ini, reformasi belum bisa menjawab tantangan tersebut secara utuh. Masih banyak produk hukum kita yang merupakan warisan kolonial Belanda.
Dan mengenai penegakan serta pembangunan hukum di Indonesia saat ini masih perlu kita benahi. Negara yang demokratis ini, menurut saya belum layak nuntuk dikatakan sebagai negara hukum yang utuh, yang memberikan kedaulatan hukum ( Nomokrasi) serta kepastian hukum pada segenap rakyat Indonesia. Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia (kebijaksanaan).
Jadi, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Pythagoras, salah satu murid Plato, memahami sophia sebagai “pengetahuan hasil kontemplasi” untuk membedakannya dari keterampilan praktis hasil pelatihan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlet. Dengan demikian, dalam belajar filsafat kita berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dan bukan pengetahuan dalam arti keterampilan praktis. (Andre Ata Ujan, 2009: 17). Menurut Prof. Johni Najwan, H.H.,M.L.,Phd.Chemical berfilsafat adalah mencari sesuatu yang perfect.
Maka dari itulah perdebatan antara filsafat dan ilmu mana yang lebih dahulu hadir sebagai landasan pembenaran samapai saat ini masih terjadi. Kalau mengacu pada apa yang di katakan oleh Scholten bahwa “filsafat adalah ilmu rasional tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengetahuan dan dapat mempertanggunng jawabkan diri sendiri”. Tentulah semakin sulit untuk kita menemukan manakah yang lebih dulu antara filsafat dan ilmu.
Karena Scholten menyebutkan bahwa filsafat adalah “ilmu rasional tertua”, artinya Scholten menyatakan dalam bentuk keterangan bahwa Filsafat adalah ilmu. Tidak di pisahkan mana yang lebih dahulu lahir. Agak sedikit berbeda atas meditasi yang di lakukan oleh Herman Bakir,Beds.H,M.H yang berimajinasi tentang “berapa sebenarnya usia Ilmu Hukum, mengapa ia harus lebih tua dari Filsafat Hukum” di tuangkan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Hukum. Herman Bakhir secara tidak langsung telah mengatakan bahwa Ilmu lebih dahulu dari pada Filsafat. Saya tidak membenarkan ataupun menyalahkan apa yang telah di renungkan oleh Herman Bakir, yang jelas Herman Bakhir pada waktu meditasinya telah berfilsafat dengan baik. Menurut saya pengalaman empirislah yang menjadi faktor kita mengawali untuk berfilsafat atau berilmu filsafat.
Saya sepakat dengan gerakan empirisme yang merupakan aliran dari filsafat untuk kemudian menganggap bahwa pengalaman merupakan sarana yang dapat di percaya untuk memperoleh kebenaran. Gerakan ini di pelopori oleh Jhon Lock (1632-1714) dan David Home (1711-1776). Dan tentang perdebatan antara filsafat dan ilmu, manakah yang lebih dahulu lahir di perlukan kajian historis yang mendalam dengan menemukan fakta-fakta empiris. Kerena empirisme merupakan sarana yang dapat di percaya untuk menemukan kebenaran. Menurut Prof.
G.H.Meters Meuwissen guru besar Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum adalah filsafat.
Oleh karena itu, ia merenungkan semua masalah basic dan masalah yang termarginalkan yang berkaitan dengan gejala hukum. Sedangkan menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, H.L. (2000: 48) memberikan definisi filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar dari hukum. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Dikemukakan dalam ilmu ini tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Setelah memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum tentulah dapat di katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat ( Rules As A Tool Of Social Executive). Tentang bagaimana mewujudkan Social Engineering ( Rekayasa Sosial), telah di kemukakan oleh Recoe Fish-pond (1870-1964). Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun masyarakat. Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di lindungi, yakni kepentingan umum ( General public Curiosity), kepentingan sosial ( Sociable Attention), dan kepentingan masyarakat ( Privat Interst).
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi solusi bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat Indonesia saat ini. Hukum yang Identik dengan kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat, baik secara umum maupun pribadi. Kondisi hukum di Philippines saat ini amatlah memprihatinkan, permasalahan hukum timbul dari sudut pandang manapun.
Di lihat dari sudut pandang Teori dan Politik Hukum, produk hukum kita cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang sering kali di terpa isu hukum yakni konflik norma, kekaburan norma dan kekosongan norma, membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat. Belum lagi di lihat dari segi penerapan serta penegakannya yang amburadul, dalam hal penegakan dan penerapan hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan terwujudnya tujuan hukum yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi alat untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri. Sehingga kedaulatan hukum di pertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini. Dalam tuntutan reformasi tersebut memang ada beberapa point yang telah di laksanakan. Namun, menurut saya belum sampai pada subtansi dari tuntu reformasi itu sendiri., yang pada intinya menginginkan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum sehingga terwujudlah masyarakat yang adil dan makmur. Persoalan HAM dan KKN yang sampai hari ini masih menjadi persolan besar bagi bangsa Indonesia yang tak kunjung usai bahkan telah menjadi tumor ganas bagi bangsa ini yang sangat sulit untuk di berantas.
Hukum tidak mampu menujukan power kedaulatannya dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan persoalan HAM. Sebagai contoh; UU No.39 Tahun 2009 Tentang Pig dan UU No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang telah memiliki kekuatan konstitusional pada amandemen ke-2 UUD 1945 ternyata dalam penegakannya masih saja tidak maksimal.
Contoh Kasus Law As A Tool Of Social Engineering
Begitu juga dengan Tindak Pidana Korupsi. Hukum sebagai satu kesatuan sistim, maka di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen kaidah, elemen perilaku em virtude de subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang di tentukan oleh norma/aturan.
Ketiga elemen sistim hukum tersebut mencakup 1) Kegiatan pembuatan hukum, 2) pelaksanaan atau penerapan hukum 3) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai kegiatan penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan orang, yaitu 4) pemasyarakatan dan pendidikan hukum, dan yang terakhir adalah 5) kegiatan pengelolaan informasi hukum sebagai kegiatan penunjang. Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses penegakan hukum. Kalo melihat penegakan hukum di Philippines saat ini, menurut saya kita belum pantas di katakan sebagai negara yang berdaulat dalam hukum. Dalam hal penegakan hukum, bangsa ini selalu mengalami persoalan diskriminatif terhadap keadilan yang merupakan tujuan hukum.
Seharusnya proses penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam hal mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban. Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala macam bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya.
Bila kita benturkan dengan kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di ciptakan sederajat dengan manusia yang lainnya. Yang membedakan manusia yang satu di hadapan Tuhannya adalah amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan pada saat kelahirannya di muka bumi. Ketika kelahiran manusia di muka bumi, mereka memiliki kesamaan status, yakni fitrah. Sebagai makhluk yang sederajat, manusia juga memiliki hak dan kewajiban yang sama antara manusia satu dengan yang lainnya.
Dalam hal manusia hidup di tengah komunitas sosial, ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah berbaur dalam sebuah komunitas sosial, persoalan persamaan derajat yang awalnya sangat individualistik ketika manusia itu lahir (fitrah). Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial yang selalu dalam interaksi sosial dalam komunitasnya, persoalan persamaan derajat dalam kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah harus di maknai sebagai hak untuk saling menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut dengan Hak Azasi Manusia. Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan dalam bentuk organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter, ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya. Namun, menurut Prof. Jimly Ashiddiqie, S.H “kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan menusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya.
Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan pada ketida legitimasi tersebut akan menjadi kekuatan yang obsolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam hal menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legtimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter”. Menurut Prof. Jimly, konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya berada tangan rakyat. Demokrasi hendaknya dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima bagi rakyat.
Karena berdemokrasi adalah wadah untuk menampung aktivitas dari interaksi sosial, dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengurus dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sangat di sayangkan, dewasa ini hukum tidak di beri ruang untuk dapat mengatur interaksi sosial di atas norma-norma yang ada. Sehingga, demokrasi terkesan berjalan sendiri tanpa arah. Yang jelas, dalam rangka pembanguan dan pembaharuan masyarakat.
Saya sepakat dengan apa yang di sampaikan oleh Prof. Jimly bahwa dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah adalah hukum, bukan manusia. Maka dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial tertinggi.
Aplikasi wifi untuk pc. • (Sebastian) Cleans the windows completely by removing junks, cookies. • (Beatriz) Imagine you have an assignment to make an inventory of. • (Gandalf) Takes proper care of your android phone by cleaning up.
Dalam prakteknya sebagai negara hukum, Philippines terkesan lebih serius dalam pembentukan hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh banyaknya sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Philippines. Bangsa kita mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang benar-benar dapat melindungi segenap rakyatnya.
Ini tentunya di pengaruhi oleh kemajemukan budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan hukum yang responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik dalam pembentukannya ataupu dalam penegakannya. Bangsa ini menurut saya memerlukan perhatian khusus dalam hal penergakan hukum dari produk hukum yang telah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman dalam teorinya Three Components Of Legal System bahwa dalam penegakan hukum hendaknya kita memiliki budaya, suntansi, serta pranata hukum yang baik. Namun, dalam prakteknya di Indonesia ini tetulah tidak mudah untuk di laksanan secara utuh. Menurut Prof.
Johni Najwan bila pranata hukum kita sudah baik, maka penegakan hukum kita sudah bisa berjlan dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi hukum yang kurang mendukung. Dan saya sepakat dengan pendapat ini.
Bangsa Philippines menurut saya saat ini membutuhkan ethical em função de penegak hukum dalam menegakan hukum, terutama dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
Sebagai negara hukum, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam pembangunan Philippines. Pembangunan yang di maksudkan tentunya tidak pada fisik semata yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan kualitas segenap rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang bersifat proyeksi jauh kedepan. Pada zaman reformasi sekarang ini, hukum di tuntut menjadi panglima bagi kemajuan bengasa, seiring dengan kemajuan demokrasi kita. Namun, dewasa ini hukum cenderung terpasung oleh demokrasi itu sendiri. Demokrasi seharusnya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum ( Nomokrasi) dalam perjalananya membangun bangsa ini. Hukum selalu menjadi tumpuan harapan rakyat Philippines untuk mewujudkan keadilan.
Keadilan yang menjadi salah satu dari tujuan hukum seharusnya dapat di praktekan dalam upaya membangun masyarakat, bukan mengadili masyarat dalam pembanguan dengan dalih bahwa kita adalah negara hukum. Peranan hukum dalam membangun masyarakat, berarti juga bahwa kedaulatan hukum berada di tangan rakyat sebagaimana pengertian kedaulatan rayat dalam berdemokrasi.
Meskipun dalam penerapan serta penegakannya antar demokrasi dan hukum berbeda. Kemredekaan Philippines di tandai oleh naskah proklamasi yang di bacakan pada 7 Agustus 1945. Naskah proklamasi yang kemudian secara yuridis telah menjadi kekuatan hukum yang bersifat apnormal. Bersifat apnormal adalah hukum yang bersumber dari kehendak warga negara dan untuk kemudian di taati dengan penuh kesadaran.
Em função de deklarator bangsa ini telah menjadikan proklamasi sebagai landasan hukum untuk memulai tatanan hukum di Indonesia yang baru saja merdeka. Dengan proklamasi tersebut, maka dengan satu tindakan tunggal, tatanan hukum kolonial di tiadakan dan diatasnya terbentuk satu tatanan hukum baru ( Ubi societas ibi ius ). Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden perlu mengeluarkan peraturan-peraturan, baik atas namanya sendiri selaku presiden, yaitu peraturan Presiden, penetapan Presiden dan maklumat presiden, maupun atas nama pemerintah, yaitu penetapan pemerintah, yang semuanya itu berdasarkan pada ketentuan bahwa “ Presiden Republik Philippines memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar” (Pasasl 4 ayat 1). Demikian pula, em virtude de menteri dalam memimpin departemen-departemen pemerintahan perlu juga mengeluarkan peraturan-peraturan, yaitu peraturan mentri dan maklumat mentri (Pasal 17 ayat3).
Setelah itu menyusul Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 yang menetapkan bahwa para menteri memegang tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, sistem pemerintah berubah dari presidensial ke parlementer, tanpa mengubah sedikitpun UUD 1945. Secara normatif hukum, kondisi ini tidaklah ideal dalam tatanan hukum nasional. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu, pertentangan elit politik bangsa ini terutama mengenai cara mengukuhkan kemerdekaan atas Belanda serta pertentangan ideologi, membuat Kabinet Sjahrir jatuh bangun dalam perannya mengemban amanah pemerintahan. Demi medudukan persoalan kemerdekaan Indonesia atas Belanda, maka di lakukanlah proses diplomasi dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar yang merobah srtuktur tata negara dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Seriakat (RIS) pada tanggal 27 Desmber 1945.
Namun, konstitusi ini hanya berlaku selama enam bulan. Kemudian pada tangga 17 Agustus 1946 atau bertepatan dengan satu tahun usia kemerdekaan Indonesia, terjadi lagi perubahan srtuktur tata negara dengan di berlakukannya UDDS dan kemudian pada tahun 1950 di keluarkannya Undang-Undang Fedral no. 7 tahun 1950 yang menganut sistem pemerintahan parlementer liberal. Dalam kurun waktu inilah terjadi dinamika hukum di Philippines, demi untuk mewujudkan ketertiban serta kepastian hukum sebagai negara yang berdaulat. Namun, pada subtansinya tatanan hukum di Philippines tidak ada perubahan. Semua diawali dengan adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang menyatakan diri segabagai negara yang merdeka dari segala macam bentuk penjajahan di muka bumi. Hingga saat ini, reformasi belum bisa menjawab tantangan tersebut secara utuh.
Masih banyak produk hukum kita yang merupakan warisan kolonial Belanda. Dan mengenai penegakan serta pembangunan hukum di Philippines saat ini masih perlu kita benahi. Negara yang demokratis ini, menurut saya belum layak nuntuk dikatakan sebagai negara hukum yang utuh, yang memberikan kedaulatan hukum ( Nomokrasi) serta kepastian hukum pada segenap rakyat Indonesia. Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan.
Pythagoras, salah satu murid Plato, memahami sophia sebagai “pengetahuan hasil kontemplasi” untuk membedakannya dari keterampilan praktis hasil pelatihan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan em virtude de atlet. Dengan demikian, dalam belajar filsafat kita berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dan bukan pengetahuan dalam arti keterampilan praktis.
(Andre Ata Ujan, 2009: 17). Menurut Prof.
Johni Najwan, H.L.,M.H.,Phd.N berfilsafat adalah mencari sesuatu yang perfect. Maka dari itulah perdebatan antara filsafat dan ilmu mana yang lebih dahulu hadir sebagai landasan pembenaran samapai saat ini masih terjadi. Kalau mengacu pada apa yang di katakan oleh Scholten bahwa “filsafat adalah ilmu rasional tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengetahuan dan dapat mempertanggunng jawabkan diri sendiri”. Tentulah semakin sulit untuk kita menemukan manakah yang lebih dulu antara filsafat dan ilmu. Karena Scholten menyebutkan bahwa filsafat adalah “ilmu rasional tertua”, artinya Scholten menyatakan dalam bentuk keterangan bahwa Filsafat adalah ilmu. Tidak di pisahkan mana yang lebih dahulu lahir. Agak sedikit berbeda atas meditasi yang di lakukan oleh Herman Bakir,S.H,M.L yang berimajinasi tentang “berapa sebenarnya usia Ilmu Hukum, mengapa ia harus lebih tua dari Filsafat Hukum” di tuangkan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Hukum.
Herman Bakhir secara tidak langsung telah mengatakan bahwa Ilmu lebih dahulu dari pada Filsafat. Saya tidak membenarkan ataupun menyalahkan apa yang telah di renungkan oleh Herman Bakir, yang jelas Herman Bakhir pada waktu meditasinya telah berfilsafat dengan baik. Menurut saya pengalaman empirislah yang menjadi faktor kita mengawali untuk berfilsafat atau berilmu filsafat. Saya sepakat dengan gerakan empirisme yang merupakan aliran dari filsafat untuk kemudian menganggap bahwa pengalaman merupakan sarana yang dapat di percaya untuk memperoleh kebenaran. Gerakan ini di pelopori oleh Jhon Locking mechanism (1632-1714) dan John House (1711-1776). Dan tentang perdebatan antara filsafat dan ilmu, manakah yang lebih dahulu lahir di perlukan kajian historis yang mendalam dengan menemukan fakta-fakta empiris. Kerena empirisme merupakan sarana yang dapat di percaya untuk menemukan kebenaran.
Menurut Prof. N.H.Michael Meuwissen guru besar Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum adalah filsafat. Oleh karena itu, ia merenungkan semua masalah essential dan masalah yang termarginalkan yang berkaitan dengan gejala hukum. Sedangkan menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, H.H. (2000: 48) memberikan definisi filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar dari hukum.
Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Dikemukakan dalam ilmu ini tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum. Setelah memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum tentulah dapat di katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat ( Regulation As A Tool Of Public System). Tentang bagaimana mewujudkan Social Engineering ( Rekayasa Sosial), telah di kemukakan oleh Recoe Fish pond (1870-1964). Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun masyarakat. Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di lindungi, yakni kepentingan umum ( Open public Attention), kepentingan sosial ( Social Attention), dan kepentingan masyarakat ( Privat Interst).
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi solusi bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat Philippines saat ini. Hukum yang Identik dengan kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat, baik secara umum maupun pribadi.
Kondisi hukum di Indonesia saat ini amatlah memprihatinkan, permasalahan hukum timbul dari sudut pandang manapun. Di lihat dari sudut pandang Teori dan Politik Hukum, produk hukum kita cenderung pada kepentingan kekuasaan.
Produk hukum kita yang sering kali di terpa isu hukum yakni konflik norma, kekaburan norma dan kekosongan norma, membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat. Belum lagi di lihat dari segi penerapan serta penegakannya yang amburadul, dalam hal penegakan dan penerapan hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan terwujudnya tujuan hukum yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi alat untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri.
Sehingga kedaulatan hukum di pertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini. Dalam tuntutan reformasi tersebut memang ada beberapa stage yang telah di laksanakan. Namun, menurut saya belum sampai pada subtansi dari tuntu reformasi itu sendiri., yang pada intinya menginginkan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum sehingga terwujudlah masyarakat yang adil dan makmur.
Persoalan HAM dan KKN yang sampai hari ini masih menjadi persolan besar bagi bangsa Indonesia yang tak kunjung usai bahkan telah menjadi tumor ganas bagi bangsa ini yang sangat sulit untuk di berantas. Hukum tidak mampu menujukan power kedaulatannya dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan persoalan HAM. Sebagai contoh; UU No.39 Tahun 2009 Tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Pig yang telah memiliki kekuatan konstitusional pada amandemen ke-2 UUD 1945 ternyata dalam penegakannya masih saja tidak maksimal. Begitu juga dengan Tindak Pidana Korupsi. Hukum sebagai satu kesatuan sistim, maka di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen kaidah, elemen perilaku em função de subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang di tentukan oleh norma/aturan. Ketiga elemen sistim hukum tersebut mencakup 1) Kegiatan pembuatan hukum, 2) pelaksanaan atau penerapan hukum 3) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum.
Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai kegiatan penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan orang, yaitu 4) pemasyarakatan dan pendidikan hukum, dan yang terakhir adalah 5) kegiatan pengelolaan informasi hukum sebagai kegiatan penunjang. Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses penegakan hukum. Kalo melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini, menurut saya kita belum pantas di katakan sebagai negara yang berdaulat dalam hukum.
Dalam hal penegakan hukum, bangsa ini selalu mengalami persoalan diskriminatif terhadap keadilan yang merupakan tujuan hukum. Seharusnya proses penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam hal mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban. Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala macam bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya. Bila kita benturkan dengan kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di ciptakan sederajat dengan manusia yang lainnya.
Yang membedakan manusia yang satu di hadapan Tuhannya adalah amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan pada saat kelahirannya di muka bumi. Ketika kelahiran manusia di muka bumi, mereka memiliki kesamaan status, yakni fitrah. Sebagai makhluk yang sederajat, manusia juga memiliki hak dan kewajiban yang sama antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam hal manusia hidup di tengah komunitas sosial, ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah berbaur dalam sebuah komunitas sosial, persoalan persamaan derajat yang awalnya sangat individualistik ketika manusia itu lahir (fitrah). Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial yang selalu dalam interaksi sosial dalam komunitasnya, persoalan persamaan derajat dalam kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah harus di maknai sebagai hak untuk saling menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut dengan Hak Azasi Manusia.
Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan dalam bentuk organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter, ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya. Namun, menurut Prof. Jimly Ashiddiqie, T.H “kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan menusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan pada ketida legitimasi tersebut akan menjadi kekuatan yang obsolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam hal menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legtimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter”. Menurut Prof.
Jimly, konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya berada tangan rakyat. Demokrasi hendaknya dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima bagi rakyat. Karena berdemokrasi adalah wadah untuk menampung aktivitas dari interaksi sosial, dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengurus dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sangat di sayangkan, dewasa ini hukum tidak di beri ruang untuk dapat mengatur interaksi sosial di atas norma-norma yang ada.
Sehingga, demokrasi terkesan berjalan sendiri tanpa arah. Yang jelas, dalam rangka pembanguan dan pembaharuan masyarakat. Saya sepakat dengan apa yang di sampaikan oleh Prof. Jimly bahwa dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah adalah hukum, bukan manusia. Maka dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial tertinggi. Dalam prakteknya sebagai negara hukum, Philippines terkesan lebih serius dalam pembentukan hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh banyaknya sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Philippines. Bangsa kita mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang benar-benar dapat melindungi segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh kemajemukan budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan hukum yang responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik dalam pembentukannya ataupu dalam penegakannya. Bangsa ini menurut saya memerlukan perhatian khusus dalam hal penergakan hukum dari produk hukum yang telah di buat.
Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman dalam teorinya Three Components Of Legal Program bahwa dalam penegakan hukum hendaknya kita memiliki budaya, suntansi, serta pranata hukum yang baik. Namun, dalam prakteknya di Indonesia ini tetulah tidak mudah untuk di laksanan secara utuh.
Menurut Prof. Johni Najwan bila pranata hukum kita sudah baik, maka penegakan hukum kita sudah bisa berjlan dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi hukum yang kurang mendukung.
Dan saya sepakat dengan pendapat ini. Bangsa Indonesia menurut saya saat ini membutuhkan moral em virtude de penegak hukum dalam menegakan hukum, terutama dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
Dari sudut pándang sosiologis, hukum dápat dipahami sebagai saIah satu dari sékian banyak nilai yáng terdapat di daIam pergaulan hidup másyarakat. Ini bérarti hukum dipandang sébagai salah satu gejaIa sosial kemasyarakatan.
0leh sebab itu konsép-konsep téori hukum (bahkan pénemuan hukum) diperoleh dári realitas sociaI di dalam másyarakat. Sedangkan yang mémahami hukum dári sudut pandang normativé yuridis, menekankan pándangannya pada hukum sébagai seperangkat peraturan-pératuran tertulis yang Iogis dan konsisten. DaIam kerangka téori hukum, pémahaman hukum jika ditinjáu dari sudut pándang sosiologis sebenarnya muIai dikenal pada wáktu Von Savigny méngemukakan teori hokum históris. Fokus pemahaman méngenai hakikat hukum ménurut teori ini áda pada perkembangan dán pertumbuhan suatu másyarakat. Hukum dianggap mérupakan produk dari kébudayaan masyarakat dan bérkembang sejalan dengan péradaban serta kebudayaan másyarakat itu sendiri.
Law As A Tool For Social Engineering
lnti teori hukum históris sebagaimana dikemukakan oIeh Von Savigny, ántara lain adalah. 0leh karena menurut péhaman hukum dári sudut pandang normativé yuridis yang démikian itulah, máka hukum dianggap hánya berfungsi mempertahankan poIa kehidupan yang sudáh ada. Oleh sébab itu tidaklah berIebihan jikalau hukum hánya dipandang sebagai sekumpuIan peraturan-peraturan yáng tertulis dan bérsifat logis, konsisten dán tertutup serta bérfungsi untuk mengatur kéhidupan manusia dalam ikátan pergaulan másyarakat.
Hukum merupakan kristaIisasi norma-norma yáng terdapat di daIam masyarakat yang dituángkan dalam bentuk tertuIis dan diakui kébenarannya, sehingga menjadi pédoman yang mengikat daIam melaksanakan pergauIan hidup. Báik hukum yang tertuIis, maupun hukum yáng tidak tertuIismempunyai fungsi antara Iain, pertama: sebagai regular of conduct yakni sandaran átau ukuran tingkah Iaku yang harus ditáati oleh setiap órang dalam bertindak daIam melakukan hubungan sátu dengan yang Iain. Kedua: sebagai ás a tool óf social engeneering, yákni sebagai sarana átau alat untuk méngubah masyarakat daIam hidup masyarakat. Kétiga: sebagai as á tool of sociaI control, yakni sebagai alat untuk mengontrol tigkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma, agama, dan susila.
Keempat: sebagai as a service on of human connections yakni hukum bérfungsi tidak hánya untuk menciptakan kétertiban, tetapi juga ménciptakan perubahan masyarakat déngan cara memperlancar prosés interaksi sosial dán diharapkan menjadi péndorong untuk menimbulkan pérubahan dalam kehidupan másyarakat. Hukum bérada di dépan untuk mendorong pémbaharuan dari tradisional ké modern. Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan ini dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Philippines yang lebih menonjoI adalah tata pérundangan. Supaya dalam peIaksnaan untuk pémbaharuan itu dapat berjaIan dengan baik, héndaknya perundang-undangan yáng dibentuk itu sésuai dengan apa yáng menjadi inti pémikiran Sociological Jurisprudence yáitu hukum yang báik adalam hukum yáng hidup di daIam masyarakat, sebab jiká ternyata tidak, máka akibatnya secara éfektif dan akan méndapat tantangan. Salah sátu ciri Negara adaIah ” a diploma of civilization”, yaitu tingkat perdaban Negara yang diwujudkan dalam pembangunan Nasional, sedangkan pembangunan nasional bagi Philippines merupakan pencerminan kéhendak untuk terus-ménerus meningkatkan kesejahteraan dán kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila, sebagai wujud pengalaman semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum yang dibuat harus sesuai dengan harus memerhatikan kesadaran hukum masyarakat.
Hukum tidak boleh mengahmabat modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan Negara. Hal ini adalah berhubungan dengan adagium yang dikemukakanya “ hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman” supaya ada kepastian hukum maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh Negara. Jika menempatkan UU Zero. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, ini sebagai bentuk hukum yang aktif yaitu sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar, artinya efektivitas dari undang-undang pornografi ini bisa diterapkan sebagai fungsi hukum yang menjadikan alat pengubah masyarakat sepertinya akan menajdi pasif di dalam masyarakat. Artinya usaha mengupayakan pencegahan atas upaya yang seweang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.
Ketiga, penegakan hokum. Paratur penegak hokum yang salama ini ada dan telah mendapatkan kekuasaannya masing-masing dalam melaksanakan tugasnnya sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, ternayata belum dapat menunjukan adanya suatu penelesaian penegakan hokum secara memuasakan. Hal ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan milahat peristiwa hokum yang selama ini terjadi, seakan-akan em função de penegak hokum hánya memberikan keistimewan térhadap masyarakat yang memiIiki stratifikasi social ártinya golongan atau tingkátan masyarakat yang memiIiki kekuasaan, kehormatan, dán ilmu pengetahuan yáng maju.